Artikel oleh RnCDM
Penanganan tuberkulosis (TBC) masih menjadi PR besar bagi Indonesia dan berbagai negara lainnya. Secara global, kasus TBC mencapai 10 juta kasus dengan angka kematian 1,5 juta di tahun 2020. Indonesia saat ini menempati posisi ketiga sebagai negara dengan kasus TBC tertinggi mencapai 824 ribu kasus. Namun, kasus yang ditemukan hanya 49% dengan angka kematian 93 ribu per tahun atau sebanding dengan 11 kematian per jam. Artinya, sebanyak 500 ribu kasus belum ditemukan. Ironisnya, kasus yang belum ditemukan dapat diartikan bahwa kelompok tersebut belum mendapatkan pengobatan bahkan menjadi ancaman masyarakat lain tertular TBC.
Kondisi ini diperburuk dengan pandemi COVID-19 yang menjadi distraksi besar dalam mencapai eliminasi TBC 2030. Sistem kesehatan terganggu, pasien TBC menghadapi tantangan dalam mengakses layanan kesehatan, bahkan hanya untuk menegakkan diagnosis.
Untuk diketahui, TBC resistan obat (MDR – TB) merupakan penyebab dari sepertiga semua kasus kematian global akibat resistensi antimikroba, yang berisiko menimbulkan bencana bagi keamanan kesehatan global. Kini, hanya 25 persen dari orang dengan TBC resistan obat di seluruh dunia yang didiagnosis dan diobati.
Sementara, The Global Fund sebagai salah satu penyumbang dana terbesar program TBC, HIV dan malaria sedang membutuhkan setidaknya 18 milyar dolar US sebagai penambahan ketujuh untuk dukungan program ketiga penyakit tersebut. Jika dana ini tidak terkumpul, maka eliminasi TBC, HIV, dan malaria terancam hanya menjadi angan.
“Saya tidak berharap untuk menyelesaikan besok atau tahun depan, tapi saya bermimpi untuk menyelesaikan TBC dan semua orang di seluruh dunia, termasuk mereka yang termarjinalisasi, dapat hidup bebas dari ancaman TBC.” Ungkap Meirinda yang hadir pada pertemuan yang dilaksanakan di Gotham Hall, New York (18/09).
Kampanye The 7th replenishment yang dilakukan di Gotham New York City merupakan upaya menyelamatkan 20 juta jiwa dari ketiga penyakit paling mematikan di berbagai belahan dunia. Kebutuhan The 7th Replenisment tersebut menjadi nominal paling sedikit yang diperlukan, utamanya di masa pandemi COVID-19.
Populasi kunci merupakan kelompok yang paling terdampak oleh disrupsi layanan selama pandemi COVID-19. Salah satu program yang mestinya dapat diakses oleh populasi kunci HIV adalah program pencegahan penularan dari ibu ke anak (PPIA). Namun disayangkan, layanan PPIA menjadi salah satu program yang terdisrupsi selama pandemi COVID-19 sehingga masih ditemukan anak yang tertular HIV dari orangtuanya setelah mengetahui status TBC usus yang merupakan penyakit wasting kronis.
“Kami sebagai komunitas harus terlibat secara bermakna dan efektif. Kami harus ada di setiap tahap perencanaan dan program TBC. Kami tahu apa yang harus dilakukan untuk mencegah anak lain menderita seperti itu,” Tegas Meirinda.
TBC membunuh utamanya orang miskin dan mereka yang termarjinalisasi. Mereka yang paling terpinggirkan adalah justru yang menanggung beban terberat sehingga 7th Replenishment The Global Fund menjadi sangat penting bagi hidup dan mati jutaan jiwa.