Artikel by: Tim R&CDM
Sejak pergantian pemimpin daerah Provinsi Maluku, komunitas sulit menyampaikan aspirasi terkait dukungan untuk isu HIV. Topik penanganan HIV seperti barang “mahal” untuk didiskusikan. Pemerintah daerah Maluku lebih tertarik pada penanganan isu–isu nasional seperti COVID-19 dan stunting.
Tahun 2021, pemerintah Provinsi Maluku mengalokasikan dana untuk penanganan COVID-19 sebesar 60 milyar rupiah. Begitu juga anggaran belanja daerah tahun 2022, Gubernur mengarahkan perangkat pemerintah daerah memperhatikan pemulihan dampak COVID-19 dari beberapa sektor seperti sektor sosial, ekonomi, kesehatan serta peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sayangnya, faktor – faktor tersebut tidak termasuk bagi orang dengan HIV yang tentu juga terdampak pandemi COVID-19. Pemerintah luput menganggarkan penanganan HIV di Provinsi Maluku melalui APBD.
Padahal “angka HIV di Kota Ambon saja mencapai 4.498 kasus (2022) dan terus mengalami peningkatan terutama di kota/kabupaten wilayah pulau” – Sekretaris Dinas kesehatan Provinsi Maluku.
Di Provinsi Maluku, anggaran untuk HIV yang tersedia 99% berasal dari pendanaan global fund, dan hanya dukungan satu kegiatan saja dari dana APBN tahun 2022. “Saya rasa pemerintah Indonesia sudah harus mandiri, Komitmen pemerintah daerah sangat dibutuhkan mengingat kita tidak tahu kapan global fund berhenti memberikan bantuan” – Meirinda Sebayang mendorong Kepala BAPPEDA Provinsi Maluku yang hadir menggantikan Gubernur saat Jaringan Indonesia Positif bersama Sekda JIP, Yayasan Inset, Yayasan Pelangi Maluku, Yayasan Huni Meku Manise dan UNFPA Indonesia berkunjung ke kantor gubernur Provinsi Maluku (8/9).
Meninjau dari segi kelengkapan fasilitas layanan kesehatan, orang dengan HIV sangat bergantung kepada layanan perawatan, dukungan, dan pengobatan (PDP). Layanan PDP yang lengkap berdasarkan regulasi standard minimum pelayanan haruslah menyediakan layanan VCT, pengobatan ARV, dan integrasi dengan dukungan sebaya. Namun dari 11 kabupaten/kota yang ada di Maluku, layanan PDP hanya tersedia di 5 kabupaten/kota saja. Belum lagi, layanan PDP tersebut berada di Pusat Kota Ambon sementara kabupaten/kota lainnya berada jauh di pulau – pulau. Kurangnya fasilitas kesehatan ini berdampak pada angka capaian tes dan kepatuhan pengobatan ARV. Alokasi dana APBD untuk program HIV yang terlewatkan dan kurangnya fasilitas kesehatan yang menyediakan PDP memperburuk upaya penanggulangan program HIV di Provinsi Maluku.
“Kami juga akan melihat kembali harapan ibu tentang APBD untuk HIV, kita akan segera merespon untuk alokasi dana HIV” – Kepala BAPPEDA – DR. Anton A. Lailossa, ST, M.Si menanggapi Ketua SekNas JIP pada pertemuan tersebut. Kedepannya, komunitas menantikan respon baik pemerintah daerah Maluku untuk memperhatikan anggaran program HIV yang sejalan dengan situasi COVID-19. Dana turunan dari APBN dan skema Global Fund seharusnya dapat dikelola untuk mendorong penambahan fasilitas layanan PDP serta penanganan HIV lainnya di provinsi Maluku. Selain itu, dalam pembentukan rencana program dan strategi penanggulangan HIV juga harus dilakukan secara inklusif dengan melibatkan CSO atau kelompok komunitas sehingga program yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan orang dengan HIV.